Rabu, 18 Januari 2012

Hak Menguasai Negara Atas Tanah Sebagai Dasar Perampasan Hak Perseorangan Atas Tanah (Tinjauan Terhadap Pengadaan Hak Atas Tanah Demi Kepentingan Umum)


BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang telah berusaha secara perlahan untuk mencapai predikat sebagai negara maju. Dengan usaha untuk berkembang tersebut mengakibatkan pembangunan yang begitu pesat sehingga semakin terasa kurangnya lahan untuk pembangunan tersebut seperti pembangunan infrastruktur yang sangat penting untuk menunjang pembangunan negara ini. Namun, dalam masyarakat muncul berbagai kontroversi mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam membangun negara ini, salah satu diantaranya adalah pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang didasari oleh kepentingan umum. Beberapa peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang pedoman-pedoman pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 kemudian disempurnakan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dan yang terakhir dan mengundang banyak kontroversi adalah Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.
            Tanah sebagai salah satu unsur penting dalam pelaksanaan pembangunan harus dikelola dan digunakan secara maksimal agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Atas dasar hak menguasai dari negara[1], maka ditentukan berbagai macam hak atas tanah yang dapat diberikan oleh negara kepada rakyat, baik dikuasai sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Namun, diantara berbagai hak atas tanah tersebut yang dikuasai oleh kepentingan perorangan maupun kepentingan kelompok terdapat kepentingan yang lebih tinggi yang dapat menghapuskan hak-hak tersebut yaitu kepentingan umum. Maka seharusnya pemegang hak atas tanah secara sukarela setuju maupun tidak setuju harus rela melepaskan tanahnya tersebut kepada negara.
            Negara sebagai salah satu pemegang hak atas tanah memiliki kewenanagan atas seluruh tanah yang ada di Indonesia, termasuk dalam hal pencabutan haknya. Sebagai organisasi kekuasaan yang tertinggi, negara dalam hal hak menguasai dari negara mempunyai wewenang :
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.
b.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai oleh hak seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.
Dengan berpedoman pada wewenang negara tersebut, negara dapat memberikan tanah yang demikian itu pada seseorang dan badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya[2]. Namun, kekuasaan negara untuk memberikan hak tersebut juga dibarengi oleh kekuasaan negara untuk mencabut hak-hak yang diberikan tersebut.
            Terdapat berbagai penagalaman pahit yang harus dialami oleh rakyat Indonesia, salah satunya adalah pada masa orde baru. Penggusuran-penggusuran sering sekali terjadi terhadap tanah-tanah hak yang dilakukan secara paksa, penuh intimidasi, bahkan dengan mudahnya mencap seorang pemilik tanah sebagai anggpta PKI hanya karena mempertahankan haknya sebagai pemilik yang sah dan tidak bersedia untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan umum. Hal tersebut terjadi, disebabkan terjadinya penyimpangan dalam proses pembebasan tanah, diaman bargaining posotion pemilik tanah berada pada pihak yang lemah berhadapan dengan penguasa dan pengusaha yang memiliki kekuatan yang lebih besar. Salah satu kasus yang sangat menghebohkan adalah bentrokan antara warga dengan satuan polisi pamong praja di tanjung priok atas pembebasan dan penggusuran makam mbah priok untuk pembangunan jalan. Dalam kejadian tersebut membuat sejumlah orang luka berat akibat senjata tajam warga yang marah. Hal itu disebabkan tidak adanya informasi dan musyawarah secara baik oleh pemerintah dan masyarakat. Selain itu, pelebaran jalan poros Makassar-Pare yang terbengkalai beberapa tahun dan tak kunjung selesai diakibatkan proses ganti rugi yang tidak memadai dan tidak disetujui oleh warga masyarakat. Semua hal tersebut didasari oleh tidak adanya kejelasan pelaksanaan peraturan presiden nomor 36 tahun 2005 yang kemudian diperbaharui dengan peraturan presiden nomor 65 tahun 2006.
            Pada akhir tahun 2010 pemerintah mengajukan draft rancangan undang-undang tentang pengadaan tanah untuk pembangunan ke DPR untuk disetujui. Terdapat berbagai kontroversi terhadap rancangan undang-undang ini, ada yang setuju dan ada yang menolak. Berbagai permasalahan-permasalahan yang tidak dapat disetujui yaitu :
a.       Bahwa RUU ini akan melegitimasi perampasan dan penggusuran tanah-tanah rakyat atas nama pembangunan dan kepentingan umum. RUU ini tidak menjelaskan kepentingan dan kriteria mengenai kepentingan umum, sehingga sangat berpotensi untuk ditafsirkan dan diberlakukan secara sewenang-wenang bila pemerintah hendak melakukan pembangunan di atas tanah-tanah rakyat.
b.      RUU ini akan menambah jumlah orang miskin, menambah jumlah petani tak bertanah dan menambah jumlah petani gurem di Indonesia, serta semakin menyingkirkan keberadaan masyarakat adat. Itu artinya bahwa RUU ini kontra-produktif dengan upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah orang miskin. Saat ini, sekitar 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani tak bertanah dan petani gurem. Hal ini berbanding terbalik dengan penguasaan tanah oleh pengusaha perkebunan yang mencapai 7 juta hektar, pengusaha HPH/HTI yang mencapai 34 juta hektar. Artinya dengan RUU ini, maka tanah yang dikuasai oleh pengusaha jauh lebih banyak lagi dibandingkan rakyat kecil. Sementara di sisi lain tak satu pun peraturan yang dikeluarkan untuk memberikan tanah kepada rakyat tak bertanah.
c.       RUU ini akan menambah jumlah konflik agraria di Indonesia disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Saat ini, konflik pertanahan yang disebabkan oleh proyek pembangunan mencapai ribuan kasus, tetapi sampai saat ini tidak ada makanisme penyelesaian konflik secara adil dan demokratis.
d.      Bahwa kedudukan dan posisi korban dan calon korban yang tanahnya akan dijadikan sebagai objek pembangunan sangat lemah. RUU ini tidak mengatur mekanisme keberatan pemilik tanah bila tidak setuju dengan proyek pembangunan. Disamping itu, mekanisme restitusi yang diatur adalam RUU ini hanya ganti kerugian menunjukkan bahwa RUU tidak bertanggungjawab terhadap kelanjutan dan kelayakan hidup para korban.
e.       Bahwa RUU ini lebih mengakomodasi kepentingan swasta dari pada kepentingan rakyat. Melalui RUU ini, pemerintah membuka ruang lebih besar pagi pengusaha untuk terlibat dalam pembangunan. Ini artinya bahwa kepentingan swasta berselubung dalam kepentingan umum.
f.       Tidak adanya urgensi dan relevansi kehadiran RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, karena kehadiran RUU ini justru akan menambah persoalan agraria di Indonesia, khususnya terkait dengan tumpang tindih kebijakan.[3]
Penolakan terhadap RUU tersebut dapat dibenarkan, berdasarkan pasal 4 huruf b RUU tersebut[4], pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat dilakukan juga untuk kepentingan usaha swasta. Dengan demikian, perampasan hak-hak atas tanah rakyat dapat dengan mudah dilakukan dengan dalih untuk kepentingan umum sehingga meningkatkan tingkat kesenjangan sosial dalam masyarakat dan juga akan menambah angka kemiskinan di Indonesia.
 Untuk itulah perlu kiranya untuk mengetahui sejauh mana hak menguasai negara atas tanah sehingga pembatasan-pembatasan kewenangannya menjadi jelas sehingga tidak ada perlakuan absolut oleh negara.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan yang sangat serius yaitu :
a.       Sejauh mana batasan hak menguasai negara atas tanah?
b.      Apakah dasar konstitusionalisme RUU pengadaan tanah untuk pembangunan tersebut?
c.       Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil alih oleh negara?


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Hak Menguasai Negara Atas Tanah
Istilah hak menguasai negara atas tanah bermula dari pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dijabarkan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA. Berdasarkan ketentuan tersebiut, maka tidaklah pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Hak menguasai negara atas tanah bersumber dari hak bangsa Indonesia atas tanah, yang pada hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilakukan sendiri oleh bangsa Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut menguasakan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat[5].
2.      Pengadaan Tanah
Menurut pasal 1 butir 1 Kepres No. 55 Tahun 1993 disebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapakan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah. Dalam Perpres 65 Tahun 2006 sebagai revisi dari Perpres 36 Tahun 2005 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam RUU pengadaan tanah pasal 1 ayat (2) yang dimaksud pengadaan tanah adalah kegiatan untuk memperoleh tanah bagi kepentingan pembangunan dengan cara pembayaran ganti rugi yang layak kepada pihak yang berhak.
            Kebijakan pemerintah terhadap pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan tanah demi kepentingan umum. Dalam artian bahwa tanah yang telah diambil dari masyarakat peruntukannya benar-benar untuk kepentingan pembangunan. Sebabesensi yang terkandung di dalmnya adalah masyarakat yang telah melepaskan haknya tersebut sehingga tidak ada lagi hubungan hukum dengan pemiliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) Kepres No. 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa
“Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepntingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
Beranjak dari ketentuan pasal tersebut, untuk menentukan penetapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus diselaraskan dengan perencanaan tata ruang daerah yang bersangkutan. Ini dimaksudkan agar jangan sampai ada tanah masyarakat yang telah diambil untuk pembangunan ternyata tidak sesuai dengan perencanaan dan pengembangan kota.
3.      Kepentingan Umum
Menurut John Salindeho[6], mengatakan bahwa sebelum Kepres No. 55 Tahun 1993 ditetapkan belum ada definisi kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan, atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Namun rumusan itu terlalu umum, tidak ada batasnya. Selanjutnya John Salindeho membuat rumusannya sendiri mengenai kepentingan umum, dengan mengatakan bahwa kepentingan umum termasuk kepentingan bangsandan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.
            Dalam pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006 dinyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum meliputi :
a.       jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b.      waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c.       pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d.      fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e.       tempat pembuangan sampah;
f.       cagar alam dan cagar budaya;
g.      pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik."
Sedangkan dalam RUU Pengadaan tanah yang masuk dalam kategori kepentingan umum adalah :
a.       Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api.
b.      waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan pembuangan pengairan lainnya.
c.       Pelabuhan, bandar udara dan terminal.
d.      Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas, dan panas bumi.
e.       pembangkit, transmisi, gardu, jaingan, dan distribusi tenaga listrik.
f.       jaringan telekomunikasi dan informatika.
g.      tempat pembuangan dan pengolahan sampah.
h.      rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah.
i.        fasilitas keselamatan umum.
j.        cagar alam dan cagar budaya.
k.      pertahanan dan keamanan nasional.
Dapat terlihat penambahan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam RUU pengadaan tanah dibandingkan dengan Perpres No. 65 Tahun 2006. Dari pengaturan tentang kepentingan umum tersebut, hampir dipastikan bahwa semua aktivitas dalam rangka pengadaan tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sudah terakomodasi sepenuhnya. Hal tersebut telah dijustifikasi oleh pasal 6 UUPA bahwa semua tanah memiliki fungsi sosial.
BAB 3
PEMBAHASAN
1.      Negara Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi
Penguasaan tanah adalah suatu hak yang dimungkinkan diperoleh hanya bila orang atau badan hukum itu cakap secara hukum untuk menjadi pemegang hak atas tanah. Hak dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada subjek hukum. Negara adalah salah satu subjek hukum, dalam hal ini organisasi negara dipandang sebagai salah satu badan hukum publik yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur warganya maupun menyelenggarakan seluruh kedaulatan yang melekat pada dirinya sesuai mandat yang diberikan oleh konstitusi atau peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan kedaulatan yang dimiliki negara adalah sempurna, dalam artian bersumber dari dirinya sendiri, tidak dapat dipecah-pecah, asli, dan sempurna. Kedaulatan yang melekat pada negara hanya terbatas pada yurisdiksinya, yaitu bila ada negara lain yang melakukan penguasaan diatasnya.
Otoritas negara, dalam hal ini Republik Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, dimana dalam pembukaan undang-undang dasar dinyatakan bahwa salah satu tugas negara yang membentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia. Kemudian dalam pasal 33 ayat (3) undang-undang dasar 1945 ditegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Pasal tersebut tidak mengikutsertakan wilayah ruang angkasa, namun dalam konvensi dan hukum internasional, wilayah ruang angkasa sampai batas ketinggian tertentu juga masuk dalam batas yurisdiksi suatu negara.
Negara memiliki kewenangan penuh terhadap tanah. Menurut pasal 2 UUPA, negara diberikan kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu tentang tanah, bukan hanya dari segi eksekutif, namun juga dalam kekuasaan legislatif dan yudikatif. Isi wewenang tersebut secara terindi dalam pasal 2 UUPA adalah :
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah. Yang termasuk dalam wewenang tersebut adalah:
·         membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan.
·         mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya.
·         mewajibkan kepada pemegang hak atas tanah (pertanian) untuk mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
b.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Yang termasuk dalam kewenangan ini adalah:
·         menentukan hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negara Indonesia baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan orang lain, atau kepada badan hukum. Demikian juga hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negara asing.
·         menetapkan dan mengatur mengenai pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau badan hukum.
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubunganhukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah. Yang termasuk dalam wewenang ini adalah:
·         mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
·         mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah.
·         mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik yang bersifat perdata maupun tata usaha negara, dengan mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan.
Menurut Oloan Sitorus[7], kewenangan negara dalam bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam 2 ayat (2) UUPA merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan nasional. Tegasnya, hak menguasai dari negara adalah pelimpahan kewenangan publik dari hak bangsa. Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik semata.
Hak menguasai negara atas tanah adalah semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan. Sekarang ini ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya, ada kecenderungan untuk lebih memperinci status tanah-tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah-tanah negara menjadi :
a.       Tanah-tanah wakaf
b.      Tanah-Tanah hak pengelolaan
c.       Tanah-tanah hak ulayat
d.      Tanah-tanah kaum
e.       Tanah-tanah kawasan hutan
f.       Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan tanah hak, dalam artian tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA, negara dapat memberikan hak atas tanah kepada perorangan atau kelompok ataupun badan hukum untuk memiliki tanah. Namun, jika berpedoman pada kewenangan negara atas tanah yang bersifat penuh dan tidak terbatas, negara dapat dengan mudah melakukan pencabutan hak atas tanah yang diberikan tersebut sebagaimana memberikannya pada perseorangan tersebut.
Sehubungan dengan hak menguasai negara atas tanah Budi Harsono[8] membeikan penjelasan sebagai berikut :


a.       Sebutan Isinya
Hak menguasai negara atas tanah adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia. Sebagai organisasi kekuasaaan rakyat yang tertinggi, maka yang terlibat bukan saja penguasa legislati dan eksekutif, tetapi juga penguasa yudikatif.
b.      Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif di dalamnya tercakup pengertian mengatur dan menentukan. Kekuasaan mengatur dan menentukan tersebut dilaksanakan oleh badan-badan legislatif pusat.
c.       Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif yang tercakup dalam pengertian menyelenggarakan dan menentukan dilakukan oleh presiden dibantu menteri atau pejabat tinggi lain yang bvertugas di bidang pertanahan.
d.      Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan yudikatif bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa tanah baik di antara rakyat ssendiri maupun di antara rakyat dan pemerintah melalui badan peradilan umum.
e.       Pemegang Haknya
Subjek dari hak menguasai negara atas tanah adalah negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.
f.       Tanah yang Dihaki
Hak menguasai negara atas tanah meliputi smeua tanah yang berada dalam wilayah RI.
g.      Terciptanya hak menguasai dari Negara
Hak menguasai negara merupakan tugas kewenangan bangsa Indonesia, yang dilakukan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam menyusun UUD 1945.
h.      Pembebanan Hak Menguasai Negara
Hak menguasai negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain. Akan tetapi, tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain.
i.        Hak Menguasai dari negara Tidak Akan Hapus
Hak menguasai negara sebagai pelimpahan hak bangsa, tidak akan hapus selama Negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Penguasaan negara atas tanah tersebut kiranya dipandang terlalu luas, ditakutkan dalam pelaksanaannya di kemudian hari beberapa oknum yang mengatasnamakan negara melakukan pengadaan dan pencabutan tanah rakyat. Pelaksanaan hak negara atas tanah harus didasari oleh dasar hukum yang dapat dibenarkan dan sesuai dengan falsafah dasar bangsa Indonesia.
2.      Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Tanah sebagai salah satu unsur penting dalam pelaksanaan pembangunan, harus dikelola dan dipergunakan secara maksimal, agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Untuk itu atas dasar hak menguasai dari negara, maka ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi yang diberikan oleh negara kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Kepentingan perorangan tersebut selama tidak menghalangi kepentingan umum tetap diakui sebagai hak yang sah. Dengan fungsi sosial tersebut, terdapat kewajiban pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah miliknya sesuai kehendaknya dengan batasan kepentingan umum. Oleh karena itu, bilamana negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah bermaksud untuk menginkan tanah tersebut unutk kegiatan kepentingan umum, maka saharusnya pemegang hak atas tanah dengan sukarela menyerahkan tanahnya tersebut kepada negara dengan memperoleh ganti rugi yang layak.
a.       Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah pada dasarnya dipergunakan untuk kepentingan umum. Dasar pelaksanaan pengadaan tanah tersebut awalnya bermula dari hak negara atas tanah yang diberikan oleh konstitusi Republik Indonesia yakni UUD 1945 tepatnya pada pasal 33 ayat (3)[9]. kemudian atas dasar itulah maka dibentuk dasar hukum lain yang lebih terinci mengenai pelaksanaan pengadaan tanah di Indonesia yakni undang-undang pokok agraria. Atas dasar UUPA tersebut itulah bermunculan berbagai peraturan baru yang lebih memperkuat pondasi pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dimulai dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 Tentang ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, PMDN No. 2 Tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta, dan PMDN No. 2 Tahun 1985 tentang tata cara pengadaan tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah kecamatan. Semua peraturan tersebut kemudian dihapuskan sejak keluarnya Keputusan Presiden  No. 55 Tahun 1993 Tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum beserta pelaksanaannya, yaitu keputusan kepala badan pertanahan nasional No. 1 Tahun 1994 Tentang ketentauan pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993. Peraturan presiden No. 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, direvisi dengan peraturan presiden No. 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Yang terakhir dan yang paling banyak menuai kontroversi selama ini adalah Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Demi kepentingan Umum.
b.      Kontroversi RUU Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah untuk pembangunan memunculkan kontroversi baru akibat adanya keinginan pemerintah untuk membuat undang-undang pengadaan tanah. RUU tersebut ditolak secara tegas oleh beberapa organisasi-organisasi terkenal yang ada di Indonesia diantaranya yaitu YLBHI dan WALHI. Penolakan tersebut lebih didasarkan pada anggapan bahwa jika undang-undang pengadaan tanah tersebut disahkan akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dalam penguasaan atas tanah. Wakil ketua YLBHI Alvon Kurnia menagtakan bahwa perampasan dan pencaplokan tanah-tanah rakyat yang megatasnamakan pembangunan demi kepentingan umum. Namun kepentingan yang dimaksud hanya untuk kepentingan segelintir orang-orang yang disekeliling pemegang tampuk kekuasaan dan yang punya modal[10]. Selain itu, protes keras juga diajukan oleh konsorsium pembaruan agraria yang dinyatakan oleh Idham Arsyad yang bertindak sebagai sekretaris Jenderal. Diantara protes tersebut adalah :
  1. Bahwa RUU ini akan melegitimasi perampasan dan penggusuran tanah-tanah rakyat atas nama pembangunan dan kepentingan umum. RUU ini tidak menjelaskan kepentingan dan kriteria mengenai kepentingan umum, sehingga sangat berpotensi untuk ditafsirkan dan diberlakukan secara sewenang-wenang bila pemerintah hendak melakukan pembangunan di atas tanah-tanah rakyat.
  2. RUU ini akan menambah jumlah orang miskin, menambah jumlah petani tak bertanah dan menambah jumlah petani gurem di Indonesia, serta semakin menyingkirkan keberadaan masyarakat adat. Itu artinya bahwa RUU ini kontra-produktif dengan upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah orang miskin. Saat ini, sekitar 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani tak bertanah dan petani gurem. Hal ini berbanding terbalik dengan penguasaan tanah oleh pengusaha perkebunan yang mencapai 7 juta hektar, pengusaha HPH/HTI yang mencapai 34 juta hektar. Artinya dengan RUU ini, maka tanah yang dikuasai oleh pengusaha jauh lebih banyak lagi dibandingkan rakyat kecil. Sementara di sisi lain tak satu pun peraturan yang dikeluarkan untuk memberikan tanah kepada rakyat tak bertanah.
  3. RUU ini akan menambah jumlah konflik agraria di Indonesia disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Saat ini, konflik pertanahan yang disebabkan oleh proyek pembangunan mencapai ribuan kasus, tetapi sampai saat ini tidak ada makanisme penyelesaian konflik secara adil dan demokratis.
  4. Bahwa kedudukan dan posisi korban dan calon korban yang tanahnya akan dijadikan sebagai objek pembangunan sangat lemah. RUU ini tidak mengatur mekanisme keberatan pemilik tanah bila tidak setuju dengan proyek pembangunan. Disamping itu, mekanisme restitusi yang diatur adalam RUU ini hanya ganti kerugian menunjukkan bahwa RUU tidak bertanggungjawab terhadap kelanjutan dan kelayakan hidup para korban.
  5. Bahwa RUU ini lebih mengakomodasi kepentingan swasta dari pada kepentingan rakyat. Melalui RUU ini, pemerintah membuka ruang lebih besar pagi pengusaha untuk terlibat dalam pembangunan. Ini artinya bahwa kepentingan swasta berselubung dalam kepentingan umum.
  6. Kami juga tidak menemukan urgensi dan relevansi kehadiran RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, karena kehadiran RUU ini justru akan menambah persoalan agraria di Indonesia, khususnya terkait dengan tumpang tindih kebijakan.
Namun, kontroversi bukan saja berasal dari kalangan eksternal pemerintahan, namun juga dari kalangan internal pemerintahan, salah satunya adalah dari Pemprov Lampung. Selain itu pemberian kewenangan yang begitu luas terhadap Badan Pertanahan Nasional akan menimbulkan kesewenang-wenangan dalam pelaksanaannya. Menurut pandangan saya, terdapat 3 masalah penting yang merupakan dasar penolakan keras terhadap RUU ini, yaitu :
·         Sistem penggantian ganti rugi.
ganti rugi dalam RUU tersebut hanya diberikan kepada pemilik tanah yang memiliki sertifikat hak yang dapat dibuktikan kebenarannya. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang tidak mendaftarkan tanahnya merupakan salah satu faktor mengapa RUU pengadaan tanah tersebut tidak harus disahkan.
·         Intervensi pihak swasta
Dalam pasal 4 RUU tersebut pihak swasta masuk dalam kategori pengadaan tanah untuk pembangunan tersebut. Dengan adaya intervensi pihak swasta tersebut dikhawatirkan tanah-tanah yang ada di Indonesia akan beralih ke pihak swasta dengan berlandaskan RUU tersebut.
·         Konsinyasi dalam ganti rugi
Penitipan uang ganti rugi di pengadilan adalah masalah yang selalu timbul semenjak munculnya Perpres 36 tahun 2005. Penitipan secara sepihak tersebut dilakukan oleh pihak negara dengan harapan akan diambil oleh pemilik tanah dan dianggap telah melepaskan tanahnya. Dengan adanya penitipan tesebut pemilik tanah sudah dianggap menyetujui pembayaran yang telah dimusyawarahkan sehingga tanah yang dimilikinya dianggap bukan lagi miliknya. Konsinyasi tersebut terjadi apabila pemilik tanah tidak menyetujui pembayaran ganti rugi yang dirundingkan.
Atas dasar itulah RUU pengadaan tanah tidak seharusnya untuk disahkan. Aspek terpenting yang tidak dapat dibenarkan adalah adanya intervensi swasta. Dengan adanya intervensi tersebut sangat dimungkinkan tanah-tanah hak dapat dicabut haknya demi kepentingan swasta.
3.      Perlindungan Bagi Pemilik Tanah
Hak menguasai negara atas tanah merupakan salah satu hak yang diberikan bangsa Indonesia kepada negara untuk mengatur segala macam permasalahan tanah. Negara sebagai otoritas tertinggi memiliki kewenangan untuk memberikan suatu hak atas tanah yang dikuasainya kepada orang-perorangan, bersama-sama, atau badan hukum yang berhak untuk mendapatkannya. Adanya istilah pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh negara atas dasar kewenangannya tersebut merupakan mimpi buruk atas pemilik tanah yang telah diberikan kuasa kepadanya. Hal itu disebabkan oleh adanya pencabutan haknya terhadap tanah yang dikuasainya. Negara dalam hal ini sebagai pelaksana dari pengadaan tanah tersebut memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik tanah yang tanhnya digunakan sebagai lokasi pembangunan tersebut. Ganti rugi yang dimaksud dapat berupa :
a.       Uang
b.      Tanah pengganti
c.       Pemukiman kembali
d.      Bentuk lain yang disetujui para pihak
e.       Gabungan dari 2 atau lebih ganti kerugian[11]
Penetapan ganti kerugian atas tanah ditetapkan atas dasar nilai jual objek pajak yang ditentukan oleh tim penilai yang dikuasakan negara. NJOP tersebut dijadikan sebagai dasar untuk melakukan musyawarah ganti kerugian yang kemudian akan disepakati. Apabila hasil musyawarah tersebut tidak memuaskan maka pihak dari negara dapat melakukan penitipan uang yang tidak disepakati tersebut ke pengadilan dan pemilik tanah mau tidak mau harus menerima pembayaran sepihak tersebut dan membebaskan tanahnya kepada negara.
Pengadaan tanah seperti itu bertolak belakang dengan hak asasi manusia yang diakui oleh Indonesia. Menurut Mochtar Kusumatmadja dan B. Arief Sidharta[12] menyatakan bahwa “hak pada dasarnya berintikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut memiliki landasan hukum (diakui atau diberikan oleh hukum) dan karena itu dilindungi hukum”. Namun, dalam kenyataan yang terjadi konsepsi terhadap hak tersebut hanyalah sebuah kalimat belaka. Perlindungan hukum atas suatu hak atas tanah dibatasi oleh kepentingan lain yang menurut pendapat negara merupakan kepentingan umum bagi seluruh rakyat.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan terkadang menimbulkan polemik tersendiri. Diantaranya adalah ketidak setujuan pemilik tanah terhadap ganti rugi yang diberikan kepadanya. Negara dalam hal ini memiliki daya paksa untuk melakukan pencabutan hak tersebut sehingga penilik tanah tidak memiliki upaya untuk menolaknya. Telah disebutkan bahwa semua tanah memiliki fungsi sosial sehingga tanah hak yang diberikan oleh negara harus dikembalikan kepada negara jika negara membutuhkannya. Pada intiya adalah, selama pemilik tanah diperhadapkan dengan kata-kata kepentingan umum, maka tidak ada perlawanan yang dapat dilakukan. Sehingga, mau tidak mau pemilik tanah harus menerima ganti kerugian yang telah dimusyawarahkan.












BAB 4
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.       Negara sebagai salah satu subjek hak atas tanah memiliki kewenangan khusus yang diberikan oleh bangsa Indonesia untuk mengatur dan mengelola tanah yang ada di Indonesia. Hak menguasai dari negara tersebut umumnya tidak terbatas dan tidak dapat hapus selama eksistensi keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia masih ada. Hak menguasai negara atas tanah bersumber dari pasal 33 ayat (3) UUD yang kemudian dijabarkan dalam beberapa peraturan-peraturan.
b.      Pengadaan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, dan tanah-tanah masyarakat hukum adat.
f.       Pada umumnya pemilik tanah tidak memiliki perlindungan hukum atas tanah yang dimilikinya jika negara menginkan tanahnya tersebut untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Ganti kerugian yang tercakup dalam RUU pengadaan tanah adalah :
·         Uang
·         Tanah pengganti
·         Pemukiman kembali
·         Bentuk lain yang disetujui para pihak
·         Gabungan dari 2 atau lebih ganti kerugian
Pemilik tanah dalm hal ini diberikan kewenangan untuk memilih jenis dari ganti kerugian yang diharapkan tapi, harga dari tanah yang akan diganti didasarkan pada nilai jual objek pajak tanah tersebut.

2.      Saran
a.       Negara dalam artian pemerintah yang menjalankan negara tersebut harus lebih memihak kepada rakyat dibandingkan pengusaha-pengusaha dari sektor swasta.
b.      Konsinyasi dalam pengadaan tanah harusnya dihapuskan karena tidak sesuai dengan falsafah bangsa dan melanggar hak asasi manusia.
c.       Perlu adanya pembatasan kewenangan dari negara terhadap hak atas tanah agar tidak timbul kesewenang-wenangan.







DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin Salle, et.al., 2010, Hukum Agraria, Makassar : As Publishing
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djambatan
Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika
Sufirman Rahman, 2008, Wacana Pembentukan Pengadilan Pertanahan Dalam Lingkup Peradilan Umum, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol. 16 No. 2.
Muhammad Ashri, 2007, Konsep Hukum Tentang Penguasaan dan Hak Milik Dalam Hukum Barat dan Hukum Islam, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol. 15 No. 4
Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Inpres RI No. 9 Tahun 1973 Tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
Kepres RI No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
PP No. 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
RUU Pengadaan Tanah
Sumber Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah
http://hukum.unsrat.ac.id/men/lamp_bpn_2_03_b.htm



[1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
[2] Aminuddin Salle et.al., Hukum Agraria. ( Makassar, 2010)  hlm. 98
[3] Idham Arsyad (SEKJEN KPA), http://sulawesichannel.blogspot.com/ 2011/04/kpa-protes-pembahasan-ruu-pengadaan.html, diakses pada tanggal 6 Mei 2011 Jam 8.45 AM.
[4] Pasal 4 menyatakan “pengadaan tanah untuk pembangunan meliputi :
a.       Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
b.       Pengadaan tanah untuk kepentingan usaha swasta”
[5] Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD dalam hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
[6] Aminuddin Salle et.al., Op,cit Hal. 280
[7] Aminuddin Salle et.al., op.cit, hal. 99
[8] Supriadi, Hukum Agraria. (Jakarta, 2009), Hlm. 59-61)
[9] Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
[10] Alvon Kurnia, http://www.lbh-makassar.org/?p=2382 Diakses pada tanggal 4 Mei 2011
[11] Rancangan Undang-Undang Pengadaaan Tanah pasal 40
[12] Muhammad Ashri, konsep hukum tentang penguasaan dan hak milik dalam hukum barat dan hukum islam, jurnal ilmu hukum Amanna Gappa vol 15 No. 4. Hlm.396

Tidak ada komentar: